Kamis, 28 November 2013

SINDROMA EKSTRAPIRAMIDAL

BATASAN/DEFINISI
Sistem ekstrapiramidal merupakan jaringan saraf yang terdapat pada otak bagian sistemmotorik yang mempengaruhi koordinasi dari gerakan. Letak dari sistem ekstrapiramidal adalah terutama di formatio reticularis dari pons dan medulla dan di target saraf di medula spinalis yang mengatur refleks, gerakan-gerakan yang kompleks, dan kontrol postur tubuh.
Istilah gejala ekstrapiramidal (EPS) mengacu pada suatu kelompok atau reaksi yang ditimbulkan oleh penggunaan jangka pendek atau panjang dari medikasi antipsikotik.Istilah ini mungkin dibuat karena banyak gejala bermanifestasikan sebagai gerakan otot skelet, spasme atau rigitas, tetapi gejala-gejala itu diluar kendali traktus kortikospinal (piramidal). Namun, nama ini agak menyesatkan karena beberapa gejala (contohnya akatisia) kemungkinan sama sekali tidak merupakan masalah motorik. Beberapa gejala ekstrapiramidal dapat ditemukan bersamaan pada seorang pasien dan saling menutupi satu dengan yang lainnya. Gejala Ektrapiramidal merupakan efek samping yang sering terjadi pada pemberian obat antipsikotik. Antipsikotik adalah obat yang digunakan untuk mengobati kelainan psikotik seperti skizofrenia dan gangguan skizoafektif.
ETIOLOGI
Sindroma ekstrapiramidal terjadi akibat pemberian obat antipsikotik yang menyebabkan adanya gangguan keseimbangan antara transmisi asetilkolin dan dopamine pusat. Obat antispikotik dengan efek samping gejala ekstrapiramidalnya sebagai berikut :
Antipsikosis
Dosis (mg/hr)
Gej. ekstrapiramidal
Chlorpromazine
Thioridazine
Perphenazine
trifluoperazine
Fluphenazine
Haloperidol
Pimozide
Clozapine
Zotepine
Sulpride
Risperidon
Quetapine
Olanzapine
Aripiprazole
150-1600
100-900
8-48
5-60
5-60
2-100
2-6
25-100
75-100
200-1600
2-9
50-400
10-20
10-20
++
+
+++
+++
+++
++++
++
-
+
+
+
+
+
+
PATOFISIOLOGI
Susunan ekstrapiramidal terdiri atas korpus striatum ,globus palidus, inti-inti talamik, nukleus subtalamikus, subtansia nigra, formatio retikularis batang otak,serebelum berikut dengan korteks motorik tambahan, yaitu area 4, area 6 dan area 8. komponen-komponen tersebut dihubungkan satu dengan yang lain oleh akson masing-masing komponen itu. Dengan demikian terdapat lintasan yang melingkar yang dikenal sebagai sirkuit. Oleh karena korpus striatum merupakan penerima tunggal dari serabut-serabut segenap neokorteks, maka lintasan sirkuit tersebut dinamakan sirkuit striatal yang terdiri dari sirkuit striatal utama (principal) dan 3 sirkuit striatal penunjang (aksesori).
Sirkuit striatal prinsipal tersusun dari tiga mata rantai, yaitu (a) hubungan segenap neokorteks dengan korpus striatum serta globus palidus, (b) hubungan korpus striatum/globus palidus dengan thalamus dan (c) hubungan thalamus dengan korteks area 4 dan 6. Data yang tiba diseluruh neokorteks seolah-olah diserahkan kepada korpus striatum/globus paidus/thalamus untuk diproses dan hasil pengolahan itu merupakan bahan feedback bagi korteks motorik dan korteks motorik tambahan. Oleh karena komponen-komponen susunan ekstrapiramidal lainnya menyusun sirkuit yang pada hakekatnya mengumpani sirkuit striata utama, maka sirkuit-sirkuit itu disebut sirkuit striatal asesorik. Sirkuit striatal asesorik ke-1 merupakan sirkuit yang menghubungkan stratum-globus palidus-talamus-striatum. Sirkuit-striatal asesorik ke-2 adalah lintasan yang melingkari globus palidus-korpus subtalamikum-globus palidus. Dan akhirnya sirkuit asesorik ke-3, yang dibentuk oleh hubungan yang melingkari striatum-subtansia nigra-striatum.
Umumnya semua neuroleptik menyebabkan beberapa derajat disfungsi ekstrapiramidal dikarenakan inhibisi transimisi dopaminergik di ganglia basalis. Beberapa neuroleptik (contoh haloperidol, fluphenazine) merupaka inhibitor dopamine ganglia basalis yang lebih poten, dan sebagai akibatnya menyebabkan efek samping EPS yang lebih menonjol.

 GEJALA KLINIS
a.    Akut
Efek samping muncul setelah pemakaian obat antipsikotik dalam hitungan hari sampai minggu.
  1. Parkinsonism yang diinduksi obat
Sindrom parkinsonism timbul 1-3 minggu setelah pengobatan awal, lebih sering terjadi pada dewasa muda, dengan perbandingan perempuan:laki-laki = 2:1. Faktor risiko antipsikotik menginduksi parkinsonism adalah peningkatan usia, dosis obat, riwayat parkinsonism sebelumnya, dan kerusakan ganglia basalis.
Manifestasi klinis yaitu gerakan spontan yang menurun (bradikinesia), meningkatkan tonus otot (muscular rigidity) dan resting tremor.
Distonia adalah kontraksi otot yang singkat atau lama, biasanya menyebabkan  gerakan  atau  postur  yang  abnormal,  termasuk  krisis okulorigik, prostrusi lidah, trismus, tortikolis, distonia laring-faring, dan postur distonik pada anggota gerak dan batang tubuh.
Distonia lebih banyak diakibatkan oleh APG I terutama yang mempunyai potensi tinggi, dan umumnya terjadi di awal pengobatan (beberapa jam sampai beberapa hari pengobatan) atau pada peningkatan dosis secara bermakna.
Gejala distonia berupa gerakan distonik yang disebabkan oleh kontraksi atau spasme otot, onset yang tiba-tiba dan terus menerus, hingga terjadi kontraksi otot yang tidak terkontrol. Otot yang paling sering mengalami spasme adalah otot leher (torticolis dan retrocolis), otot rahang (trismus, gaping, grimacing), lidah (protrusion, memuntir) atau spasme pada seluruh otot tubuh (opistotonus). Pada mata terjadi krisis okulogirik. Distonia glosofaringeal yang menyebabkan disartria, disfagia, kesulitan bernapas, hingga sianosis. Spasme otot dan postur yang abnormal, umumnya yang dipengaruhi adalah otot-otot di daerah kepala dan leher, tetapi terkadang juga daerah batang tubuh dan ekstremitas bawah. Distonisa laring dapat menyebabkan asfiksia dan kematian. Sering terjadi pada penderita usia muda (usia belasan atau dua puluhan) dan kebanyakan pada laki-laki.
Kriteria diagnostik dan riset untuk distonia akut akibat neuroleptik menurut DSM- IV adalah sebagai berikut :
Posisi abnormal atau spasme otot kepala, leher, anggota gerak, atau batang tubuh yang berkembang dalam beberapa hari setelah memulai atau menaikkan dosis medikasi neuroleptik (atau setelah menurunkan medikasi yang digunakan untuk mengobati gejala ekstrapiramidal).
A. Satu (atau lebih) tanda atau gejala berikut yang berkembang berhubungan dengan medikasi neuroleptik :
1)      Posisi abnormal kepala dan leher dalam hubungannya dengan tubuh (misalnya tortikolis)
2)      Spasme otot rahang (trismus, menganga, seringai)
3)      Gangguan menelan (disfagia),  bicara,  atau bernafas  (spasme laring-faring, disfonia)
4)      Penebalan  atau  bicara  cadel  karena  lidah  hipertonik  atau membesar (disartria, makroglosia)
5)      Penonjolan lidah atau disfungsi lidah
6)      Mata deviasi ke atas, ke bawah, ke arah samping (krisis okulorigik)
7)      Posisi abnormal anggota gerak distal atau batang tubuh
B. Tanda atau gejala dalam kriteria A berkembang dalam tujuh hari setelah memulai atau dengan cepat menaikkan dosis medikasi neuroleptik, atau menurunkan medikasi yang digunakan untuk mengobati (atau mencegah) gejala ekstrapiramidal akut (misalnya obat antikolinergik)
C. Gejala dalam kriteria A tidak diterangkan lebih baik oleh gangguan mental (misalnya gejala katatonik pada skizofrenia). Tanda-tanda bahwa gejala lebih baik diterangkan oleh gangguan mental dapat berupa berikut : gejala mendahului pemaparan dengan medikasi neuroleptik atau tidak sesuai dengan pola intervensi farmakologis (misalnya tidak ada perbaikan setelah menurunkan neuroleptik atau pemberian antikolinergik)
D. Gejala dalam kriteria A bukan karena zat nonneuroleptik atau kondisi neurologis atau medis umum. Tanda-tanda bahwa gejala adalah karena kondisi medis umum dapat berupa berikut : gejala mendahului  pemaparan  dengan  medikasi  neuroleptik,  terdapat tanda neurologis fokal yang tidak dapat diterangkan, atau gejala berkembang tanpa adanya perubahan medikasi.
3. Akatisia
Merupakan bentuk yang paling sering dari sindroma ekstrapiramidal yang diinduksi oleh obat antipsikotik. Manifestasi klinis berupa perasaan subjektif kegelisahan (restlessness) yang panjang, dengan gerakan yang gelisah, umumnya kaki yang tidak bisa tenang. Penderita dengan akatisia berat tidak mampu untuk duduk tenang, perasaannya menjadi cemas atau iritabel. Akatisia terkadang sulit dinilai dan sering salah diagnosis dengan ansietas atau agitasi dari pasien psikotik, yang disebabkan dosis antipsikotik yang kurang.
b.   Kronik (late)
    1. Tardive dyskinesia
Terjadi setelah menggunakan antipsikotik minimal selama 3 bulan atau setelah pemakaian antipsikotik dihentikan selama 4 minggu untuk oral dan 8 minggu untuk injeksi depot, maupun setelah pemakaian dalam jangka waktu yang lama (umumnya setelah 6 bulan atau lebih). Penderita yang menggunakan APG I dalam jangka waktu yang lama sekitar 20-30% akan berkembang menjadi tardive dyskinesia. Seluruh APG I dihubungkan dengan risiko tardive dyskinesia.
Umumnya berupa gerakan involunter dari mulut, lidah, batang tubuh, dan ekstremitas yang abnormal dan konsisten. Gerakan oral-facial meliputi mengecap-ngecap bibir (lip smacking), menghisap (sucking), dan mengerutkan bibir (puckering) atau seperti facial grimacing. Gerakan lain meliputi gerakan irregular dari limbs, terutama gerakan lambat seperti koreoatetoid dari jari tangan dan kaki, gerakan menggeliat dari batang tubuh.
2. Tardive distonia
Ini merupakan tipe kedua yang paling sering dari sindroma tardive. Gerakan distonik adalah lambat, berubah terus menerus, dan involunter serta mempengaruhi daerah tungkai dan lengan, batang tubuh, leher (contoh torticolis, spasmodic disfonia) atau wajah (contohmeige’s syndrome). Tidak mirip benar dengan distonia akut.
3. Tardive akatisia
Mirip dengan bentuk akatisia akut tetapi berbeda dalam respons terapi dengan menggunakan antikolinergik. Pada tardive akatisia pemberian antikolinergik memperberat keluhan yang telah ada.
 4. Tardive tics
Sindroma tics multiple, rentang dari motorik tic ringan sampai kompleks dengan involuntary vocazations (tardive gilles de la tourette’s syndrome).
5. Tardive myoclonus
Singkat, tidak stereotipik, umumnya otot rahang tidak sinkron. Gangguan ini jarang dijumpai.

PEMERIKSAAN DIAGNOSIS
Pemeriksaan yang dapat dilakukan di antaranya adalah pemeriksaan fisik neurologis.
Pemeriksaan laboratorium tergantung pada tampilan klinis. Pasien dengan distonia simplek tidak membutuhkan tes. Pemeriksaan kualitatif untuk mendeteksi adanya antipsikotik tidak tersedia secara luas. Selain itu, kandungan obat dalam serum untuk tranquilizer mayor tidak berkorelasi dengan baik dengan keparahan klinis dari overdosis dan tidak bermanfaat pada pengobatan akut. Pemeriksaan rutin elektrolit, nitrogen urea darah, kreatinin darah, glukosa darah, dan bikarbonat bermanfaat dalam menilai status hidrasi, fungsi ginjal, status asam basa, dan termasuk hipoglikemi sebagai penyebab kelainan sensorium.
Kontraksi otot yang terus menerus sering menyebabkan perusakan otot yang terlihat dari pningkatan potassium, asam urat, dan keratin kinase-MM. Perusakan otot juga menghasilkan myoglobin yang diserap oleh ginjal, sehingga menyebabkan disfungsi tubulus ginjal. Dehidrasi memperburuk penyerapan ini. Pada myoglobinuria, urin menjadi berwarna cokelat gelap.

DIAGNOSIS BANDING
  • Sindroma putus obat
  • Parkinson Disease
  • Distonia primer
  • Tetanus
  • Gangguan gerak ekstrapiramidal primer

PENYULIT
  • Gangguan gerak yang dialami penderita akan sangat mengganggu sehingga menurunkan kualitas penderita dalam beraktivitas.
  • Pada distonia laring dapat menyebabkan asfiksia dan kematian.
  • Gangguan gerak saat berjalan dapat menyebabkan penderita terjatuh dan mengalami fraktur.


PROGNOSIS
Prognosis pasien dengan sindrom ekstrapiramidal yang akut masih baik bila gejala langsung dikenali dan ditanggulangi. Sedangkan prognosis pada EPS yang kronik lebih buruk. Pasien dengan tardive distonia sangat buruk. Sekali terkena, kondisi ini biasanya menetap pada pasien yang mendapat pengobatan neuroleptik selama lebih dari 10 tahun.

PENATALAKSANAAN
Mulai dengan penurunan dosis antipsikotik, kemudian pasien diterapi dengan trihexyphenidil (THP) atau antikolinergik lainnya, 4-6mg per hari selama 4-6 minggu. Setelah itu dosis diturunkan secara perlahan-lahan, yaitu 2 mg setiap minggu, untuk melihat apakah pasien telah mengembangkan suatu toleransi terhadap efek samping EPS. Dosis antipsikotik diturunkan hingga mencapai dosis minimal yang efektif. Pedoman penatalaksanaan adalah sebagai berikut:
  1. Gejala ekstrapiramidal dapat sangat menekan sehingga banyak ahli menganjurkan terapi profilaktik. Gejala ini penting terutama pada pasien dengan riwayat EPS atau para pasien yang mendapat neuroleptik poten dosis tinggi.
  2. Medikasi anti-EPS mempunyai efek sampingnya sendiri yang dapat menyebabkan komplians yang buruk. Antikolinergik umumnya menyebabkan mulut kering, penglihatan kabur, gangguan ingatan, konstipasi dan retensi urine. Amantadin dapat mengeksaserbasi gejala psikotik.
  3. Umumnya disarankan bahwa suatu usaha dilakukan setiap enam bulan untuk menarik medikasi anti-EPS pasien dengan pengawasan seksama terhadap kembalinya gejala.
Antikolinergik merupakan terapi distonia akut bentuk primer dan praterapi dengan salah satu obat-obat ini biasanya mencegah terjadinya penyakit. Paduan obat yang umum meliputi benztropin (Congentin) 0,5-2 mg 2xsehari (BID) sampai 3x sehari (TID) atau triheksiphenidil (Artane) 2-5 mg TID. Benztropin mungkin lebih efektif daripada triheksiphenidil pada pengobatan distonia akut dan pada beberapa penyalah guna obat triheksiphenidil karena “rasa melayang” yang mereka dapat daripadanya. Seorang pasien yang ditemukan dengan distonia akut berat harus diobati dengan cepat dan secara agresif. Bila dilakukan jalur intravena (IV) dapat diberikan benztropin 1 mg dengan dorongan IV. Umumnya lebih praktis untuk memberikan difenhidramin (Benadryl) 50 mg intramuskuler (IM) atau bila obat ini tidak tersedia gunakan benztropin 2 mg IM. Remisi ADR dramatis terjadi dalam waktu 5 menit.
Pengobatan akatisia mungkin sangat sulit dan sering kali memerlukan banyak eksperimen. Agen yang paling umum dipakai adalah antikolinergik dan amantadin (Symmetrel); obat ini dapat juga dipakai bersama. Penelitian terakhir bahwa propanolol (Inderal) sangat efektif dan benzodiazepine, khususnya klonazepam (klonopin) dan lorazepam (Ativan) mungkin sangat membantu.
Pengobatan sindrom Parkinson terinduksi neuroleptik terdiri atas agen antikolinergik. Amantadin juga sering digunakan. Levodopa yang dipakai pada pengobatan penyakit Parkinson idiopatik umumnya tidak efektif akibat efek sampingnya yang berat. Benzodiazepine dapat mengurangi pergerakan involunter pada banyak pasien, kemungkinan melalui mekanisme asam gamma-aminobutirat-ergik. Pengurangan dosis umumnya merupakan perjalanan kerja terbaik bagi pasien yang tampaknya mengalami diskinesia tardive tetapi masih memerlukan pengobatan.

Rabu, 13 November 2013

Gangguan Cemas Menyeluruh ( Generalized Anxiety DIsorder/GAD)

Pendahuluan

Dari studi kepustakaan yang dibuat oleh Lewis pada tahun 1970, ditemukan bahwa istilah anxietas mulai diperbincangkan pada permulaan abad ke-20. Kata dasar
anxietas dalam bahasa Indo Jerman adalah ‘’angh’’ yang dalam bahasa latin berhubungan dengan kata ‘’angustus, ango, angor, anxius, anxietas, angina”. Kesemuanya mengandung arti ‘’sempit” atau ‘’konstriksi”. Pada tahun 1894, Freud menciptakan istilah ‘’anxiety neurosis’’. Kata anxiety diambil dari kata ‘’angst” yang berarti ‘’ketakutan yang tidak–perlu’’ . Pada mulanya Freud mengartikan anxietas inu sebagai transformasi lepasnya ketegangan seksual yang menumpuk melalui system saraf otonom dengan menggunakan saluran pernafasan. Kemudian anxietas ini diartikan sebagai perasaan takut atau khawatir yang berasal dari pikiran atau keinginan yang direpresi. Akhirnya nxietas diartikan sebagi suatu respon terhadap situasi yang berbahaya. 1
Anxietas merupakan pengalaman yang bersifat subjektif,tidak menyenangkan. tidak menentu, menakutkan dan mengkhawatirkan akan adanya kemungkuna bahaya atau ancaman bahaya, dan seringkali disertai oleh gejala-gejala atau reaksi fisik tertentu akibat peningkatan aktifitas otonomik. 1,2
Menurut DSM-IV yang dimaksud gangguan cemas menyeluruh adalah suatu keadaan ketakutan atau kecemasan yang berlebih-lebihan, dan menetap sekurang kurangnya selama enam bulan mengenai sejumlah kejadian atau aktivitas disertai oleh berbagai gejala somatik yang menyebabkan gangguan bermakna pada fungsi sosial, pekerjaan, dan fungsi - fungsi lainnya Sedangkan menurut ICD-10 gangguan ini merupakan bentuk kecemasan yang sifatnya menyeluruh dan menatap selama beberapa minggu atau bulan yang ditandai oleh adanya kecemasan tentang masa depan, ketegangan motorik, dan aktivitas otonomik yang berlebihan. 1,3

Epidemiologi
Gangguan cemas menyeluruh merupakan gangguan anxietas yang paling sering dijumpai, diklinik, diperkirakan 12 % dari seluruh gangguan anxietas. Prevalensinya di masyarakat diperkirakan 3 %, dan prevelansi seumur hidup (life time) rata-rata 5 %. Di Indonesia prevalensinya secara pasti belum diketahui, namun diperkirakan 2% -5%. Gangguan ini lebih sering dijumpai pada wanita dengan ratio 2 : 1, namun yang datang meminta pengobatan rationya kurang lebih sama atau 1 :1 antara laki-laki dan wanita. 1

Etiologi 

Etiologi dari gangguan ini belum diketahui secara pasti, namun diduga dua faktor yang berperan terjadi di dalam gangguan ini yaitu, factorbiologic dan psikologik. Faktor biologik yang berperan pada gangguan ini adalah ‘’neurotransmitter’’.Ada tiga neurotransmitter utama yang berperan pada gangguan ini yaitu, norepinefrin ,serotonin, dangamma amino butiric acid atau GABA . Namun menurut Iskandar neurotransmitter yang memegang peranan utama pada gangguan cemas menyeluruh adalah serotonin, sedangkan norepinefrin terutama berperan pada gangguan panik. 1,2
Dugaan akan peranan norepinefrin pada gangguan cemas didasarkan percobaan pada hewan primata yang menunjukkan respon kecemasan pada perangsangan locus sereleus yang ditunjukan pada pemberian obat-obatan yang meningkatkan kadar norepinefrin dapat menimbulkan tanda-tanda kecemasan, sedangkan obat-obatan menurunkan kadar norepinefrin akan menyebabkan depresi. 1
Peranan Gamma Amino Butiric Acid pada gangguan ini berbeda dengan norepinefrin. Norepinefrin bersifat merangsang timbulnya anxietas, sedangkan Gamma Amino Butiric Acid atau GABA bersifat menghambat terjadinya anxietas ini.
Pengaruh dari neutronstransmitter ini pada gangguan anxietas didapatkan dari peranan benzodiazepin pada gangguan tersebut. Benzodiazepin dan GABA membentuk “GABABenzodiazepin complex”yang akan menurunkan anxietas atau kecemasan. Penelitian pada hewan primata yang diberikan suatu agonist inverse benzodiazepine Beta- Carboline-Carboxylic-Acid (BCCA) menunjukkan gejala-gejala otonomik gangguan anxietas. 1,3
Mengenai peranan serotonin dalam gangguan anxietas ini didapatkan dari hasil pengamatan efektivitas obat-obatan golongan serotonergik terhadap anxietas seperti buspiron atau buspar yang merupakan agonist reseptor serotorgenik tipe 1A (5-HT 1A).Diduga serotonin mempengaruhi reseptor GABA-Benzodiazepin complex sehingga ia dapat berperan sebagai anti cemas. Kemungkinan lain adalah interaksi antara serotonin dan norepinefrin dalam mekanisme anxietas sebagai anti cemas. 1,2
Sehubungan dengan faktor-faktor psikolgik yang berperan dalam terjadinya anxietas ada tiga teori yang berhubungan dengan hal ini, yaitu : teori psikoanalitik, teori behavorial, dan teori eksistensial. Menurut teori psiko-analitik terjadinya anxietas ini adalah akibat dari konflik unconscious yang tidak terselesaikan. Teori behavior beranggapan bahwa terjadinya anxietas ini adalah akibat tanggapan yang salah dan tidak teliti terhadap bahaya. Ketidaktelitian ini sebagai akibat dari perhatian mereka yang selektif pada detil-detil negative dalam kehidupan, penyimpangan dalam proses informasi, dan pandangan yang negative terhadap kemampuan pengendalian dirinya . Teori eksistensial bependapat bahwa terjadinya anxietas adalah akibat tidakadanya rangsang yang dapat diidentifikasi secara spesifik. Ketiadaan ini membuat orang menjadi sadar akan kehampaannya di dalam kehidupan ini . 1,4

Gambaran Klinis 

Gejala utama dari ganguan anxietas adalah rasa cemas, ketegangan motorik, hiperaktivitas otonomik, dan kewaspadaan kognitif. Kecemasan berlebihan dan mengganggu aspek lain kehidupan pasien
Gejala klinis Gangguan Cemas Menyeluruh meliputi: 5,6
• Penderita menunjukkan anxietas sebagai gejala primer yang berlangsung hampir setiap hari untuk beberapa minggu sampai bulan, yang tidak terbatas atau hanya menonjol pada keadaan situasi khusus tertentu saja (free floating atau mengambang)
• Gejala-gejala tersebut biasanya mencakup unsur-unsur berikut:
o Kecemasan (khawatir akan nasib buruk seperti berada di ujung tanduk, sulit berkonsentrasi, dll)
o Ketegangan motorik (gelisah, gemetaran, sakit kepala, tidak dapat santai, dsb)
o Overaktivitas otonomik (terasa ringan, berkeringat, takikardi, takipnea, jantung berdebar-debar, sesak napas, epigastrik, pusing kepala, mulut kering, dan gangguan lainnya)
• Pada anak-anak sering terlihat adanya kebutuhan berlebihan untuk ditenangkan serta keluhan somatik berulang yang menonjol
• Adanya gejala-gejala lain yang sifatnya sementara (untuk beberapa hari), khususnya depresi, tidak membetalkan diagnosis utama Gangguan anxietas menyeluruh, selema hal tersebut tidak memenuhi kriteria lengkap dari episode depresi, gangguan anxietas fobik, gangguan panik atau gangguan obsesif kompulsif.

Diagnosis

Berdasarkan PPDGJ-III kriteria diagnostik untuk gangguan campuran anxietas menyeluruh adalah sebagai berikut: 5,6
1. Penderita harus menunjukkan anxietas sebagai gejala primer yang berlangsung hampir setiap hari untuk beberapa minggu sampai beberapa bulan, yang tidak terbatas atau hanya menonjolkan pada keadaan situasi khusus tertentu saja.
2. Gejala-gejala tersebut biasanya mencakup unsur-unsur berikut:
a) kecemasan (khawatir akan nasib buruk, merasa seperti diujung tanduk , sulit konsentrasi dan dsb.)
b) ketegangan motorik (gelisah,sakit,kepala,gemetaran tidak dapat santai)
c) overaktifitas otonomik (kepala terasa ringan , berkeringat, jantung berdebar-debar,sesak napas, keluhan lambung, pusing kepala, mulut kering dsb)
d) pada anak-anak sering terlihat adanya kebutuhan berlebihan untuk ditenangkan (reassurance) serta keluhan-keluhan somatik berulang yang menonjol.
e) adanya gejala-gejala lain yang bersifat sementara (untuk beberapa hari), khususnya depresi, tidak membatalkan diagnosis utama gangguan anxietas menyeluruh, selama hal tersebut tidak memenuhi kriteria lengkap dari episode depresi (F32.), gangguan anxietas fobik (F40) gangguan panik (F41,0) atau gangguan obsesif-kompulsif (F42).

Diagnosis Banding

Diagnosis banding gangguan kecemasan menyeluruh adalah semua kondisi medis yang menyebabkan kecemasan. Pemeriksaan medis harus termasuk tes kimia darah standar, elektrokardiogram, dan tes fungsi tiroid. Klinisi harus menyingkirkan intoksikasi kafein, penyalahgunaan stimulan, putus alkohol dan putus sedatif atau hipnotik. 2

Terapi

Pengobatan yang paling efektif untuk pasien dengan kecemasan menyeluruh adalah pengobatan yang mengkombinasikan psikoterapi dan farmakoterapi. Pengobatan mungkin memerlukan cukup banyak waktu bagi klinisi yang terlibat. 2,6,7

1. Psikoterapi
Pendekatan psikoterapi untuk gangguan kecemasan menyeluruh meliputi : 2,6
a) Terapi kognitif perilaku, terapi ini memiliki keunggulan jangka panjang dan jangka pendek. Pendekatan kognitif secara langsung menjawab distorsi kognitif pasien dan pendekatan perilaku menjawab keluhan somatik secara langsung.
b) Terapi suportif, terapi yang menawarkan ketentraman dan kenyamanan bagi pasien.
c) Terapi berorientasi tilikan, memusatkan untuk mengungkapkan konflik bawah sadar dan mengenali keuatan ego pasien. 

2. Farmakoterapi 6,7
Golongan benzodiazepine sebagai “drug of choice” dari semua obat yang mempunyai efek anti-anxietas, disebabkan spesifitas, potensi dan keamanannya. Spektrum klinis benzodiazepine meliputi efek antianxietas, anti konvulsan, anti insomnia, premdikasi tindakan operatif.
a. Diazepam : ” broadspektrum”
b. Nitrazepam : dosis anti-anxietas dan anti insomnia berdekatan lebih efektif sebagai anti insomnia
c. Clobazam : ”psychomotor performance” paling kurang terpengaruh, untuk pasien dewasa dan usia lanjut yang ingin tetap aktif
d. Lorazepam : ” short half life benzodiazepine ” , untuk pasien-pasien dengan kelainan fungsi hati dan ginjal.
e. Alprazolam : efektif untuk anxietas antisipatorik ” onset of action lebih cepat dan mempunyai komponen efek anti depresi.

Prognosis

Perlangsungan dari gangguan ini bersifat kronis residif dan prognosisnya sukar diramalkan. Sebanyak 25 % dari penderita gangguan ini mengalami gangguan panik.

DAFTAR PUSTAKA

1. Idrus F. Anxietas dan Hipertensi. [online]. 2006 Mar 1 [cited 2008 Mar 16] ; Vol.27 No.1, Available from URL : http://www.j_med_nus.com
2. Kaplan HI, Saddock BJ, Grebb JA. Sinopsis Psikiatri. Jakarta: Binarupa Aksara; 1997. p. 1-62.
3. Wibisono S. Simposium Anxietas Konsep Diagnosis dan Terapi Mutakhir. Jakarta; 1990
4. Maramis W.F. Nerosa. Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga University Press; 2004. p.250-62
5. Maslim R. Diagnosis Gangguan Jiwa / PPDGJ-III. Jakarta: PT Nuh Jaya; 2001. p. 74.
6. Mansjoer A, dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius FKUI; 2001.
7. Maslim R. Panduan Praktis Penggunaan Klinis obat Psikotropika ed. Ketiga. Jakarta : Bagian ilmu kedokteran Jiwa FK-UNIKA Atmajaya; 2001

Rabu, 30 Oktober 2013

Penatalaksanaan Gangguan Panik

PENATALAKSANAAN GANGGUAN PANIK
Syukri La Ranti

I.    PENDAHULUAN

Gangguan panik merupakan salah satu jenis gangguan cemas kronik yang ditandai oleh serangan panik parah yang berulang dan tak terduga, frekuensi serangannya bervariasi mulai dari beberapa kali serangan dalam setahun hingga beberapa serangan dalam sehari. Serangan panik dapat pula terjadi pada jenis gangguan cemas yang lain, namun hanya pada gangguan panik, serangan terjadi meskipun tidak terdapat  faktor presipitasi yang jelas.1,2,3,4,5


Gangguan panik dapat timbul bersama gangguan mood, dengan gejala mood secara potensial meningkatkan onset serangan panik. Gangguan panik juga bisa didiagnosis dengan atau tanpa agoraphobia. Selain itu gangguan panik juga biasanya menyertai penyakit somatik (comorbid) seperti PPOK, IBS, migraine, dan meningkatkan frekuensi serangan jantung. Oleh karena itu skrening dan pemeriksaan yang tepat terhadap gangguan panik sangat dibutuhkan untuk efikasi terapi, efisiensi biaya dan waktu pengobatan.1,2,3

Pasien gangguan panik sering ditemukan pada mereka yang berada pada usia produktif yakni antara 18-45 tahun. Selain itu penderita gangguan panik lebih umum ditemukan pada wanita, terutama mereka yang belum menikah serta wanita post-partum, serangan panik jarang ditemukan pada wanita hamil.1,2,3,5

II.    DIAGNOSIS GANGGUAN PANIK

Menurut DSM-IV, kriteria diagnosis gangguan panik harus dibuktikan dengan adanya serangan panik yang berkaitan dengan kecemasan persisten berdurasi lebih dari 1 bulan terhadap: (1)serangan panik baru (2) konsekuensi serangan, atau  (3) terjadi perubahan perilaku yang signifikan berhubungan dengan serangan.  Selain itu untuk mendiagnosis serangan panik, kita harus menemukan minimal 4 gejala dari 13 gejala berikut ini:
•    Merasa pusing, tidak stabil berdiri, hingga pingsan
•    Merasa kehilangan kontrol, seperti mau gila
•    Takut mati
•    Leher serasa dicekik
•    Palpitasi, berdebar-debar, denyut jantung bertambah cepat
•    Nyeri dada, rasa tidak nyaman di dada
•    Merasa sesak, bernapas pendek
•    Mual atau distress abdominal
•    Gemetaran
•    Berkeringat
•    Rasa panas dikulit, menggigil
•    Mati rasa, kesemutan
•    Derealisasi, depersonalisasi (merasa seperti terlepas dari diri sendiri)

Selama serangan panik pasien senantiasa berkeinginan untuk kabur dan merasa ajalnya hampir menjelang akibat perasaan terkecekik dan berdebar-debar. Gejala lain yang dapat timbul pada serangan panik adalah sakit kepala, tangan terasa dingin, timbulnya pemikiran-pemikiran yang mengganggu, dan merenung.1,3,4,5

Terdapat 2 tipe diagnosis gangguan panik, yakni gangguan panik tanpa agorafobia dan yang disertai agorafobia. Diagnosis dieksklusi bila serangan panik terjadi pada kondisi di bawah pengaruh obat atau terjadi karena didahului gangguan mental lainnya.1,2,3,4,5

III.    PEMICU PANIK 

Salah satu upaya untuk mengatasi gangguan panik adalah dengan cara menjauhkan pasien dari segala pemicu gangguan panik. Adapun beberapa pemicu gangguan panik antara lain:
•    Cedera (oleh sebab kecelakaan atau operasi)
•    Penyakit somatik
•    Adanya konflik dengan orang lain
•    Penggunaan ganja
•    Penyalahgunaan stimulan seperti caffeine, decongestant, cocaine dan obat-obatan simpatomimetik (seperti amfetamin, MDMA)
•    Berada pada tempat-tempat tertutp atau tempat umum (terutama pada gangguan panik yang disertai agoraphobia)
•    Penggunaan sertraline, yang dapat menginduksi pasien gangguan panik yang awalnya asimptomatik
•    Sindrom putus obat golongan SSRI, yang dapat mendinduksi gejala-gejala yang menyerupai gangguan panik.

Pada beberapa penelitian, gejala-gejala serangan panik sering timbul pada pasien penderita gangguan panik yang mengalami hiperventilasi, menginhalasi CO2, konsumsi caffeine, atau yang mendapat injekasi natrium laktat hipertonis atau larutan salin hipertonis, kolesistokinin, isoproterenol, fulamazenil, atau naltrexone.1,5

IV.    ETIOLOGI

Etiologi sangat berperan dalam proses pemberian terapi pada pasien dengan gangguan panik. Beberapa penelitian menunjukkan gangguan panik dapat diturunkan akibat disfungsi neurokimia dengan perkiraan tingkat heritabilitasnya (heritability) 0,3-0,6%. Meskipun begitu, hingga kini analisis segregasi masih belum dapat menyimpulkan rantai DNA yang dapat menyebabkan gangguan panik.1,5

Namun beberapa penelitian genetis menemukan bahwa regio kromosom 13q, 14q, 22q, 4q31-q34, serta 9q31 berkaitan erat dengan heritabilitas fenotip gangguan panik.

Beberapa Teori Etiologi

Disfungsi neurokimia tampaknya menjadi salah satu penyebab gangguan panik yang mengakibatkan ketidakseimbagan otonom, penurunan kualitas GABA(gamma-aminobutyric acid)ergik, polimorfisme alel gen COMT (catechol-O-methyltransferase), peningkatan fungsi reseptor adenosin, peningkatan kortisol, penurunan fungsi reseptor benzodiazepin, gangguan fungsi serotonin, norepinephrine, dopamine, cholecystokinin, dan IL-1 beta.1

Disfungsi neurokimia ini diperkuat oleh temuan hasil scanning PET yang menunjukkan terjadi peningkatan aliran darah pada regio parahippocampal dextra dan penurunan ikatan reseptor serotonin tipe 1A pada cingula anterior dan posterior pasien gangguan panik.1 

Beberapa peneliti juga memberikan teori yang menyatakan gangguan panik merupakan suatu keadaan yang diakibatkan olehhiperventilasi kronik dan hipersensivisitas reseptor karbon dioksida. Beberapa pasien epilepsi menunjukkan gangguan panik sebagai manifestasi dari bangkitan mereka.1
Sedangkan teori kognitif menyatakan bahwa pasien dengan gangguan panik telah mengalami peningkatan sensitivitas terhadap isyarat otonomik internal. Sehingga dengan sedikit rangsangan stress saja, sudah dapat mengakibatkan serangan panik.1

V.    PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan Ketika Serangan Panik Terjadi

Serangan panik merupakan salah satu jenis kegawatdaruratan psikiatri. Adapun beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk mengatasi pasien serangan panik yang datang dengan keluhan nyeri dada, sesak napas, palpitasi, atau nyaris pingsan antara lain:
1.    Terapi oksigen
2.    Membaringkan pasien dalam posisi Fowler
3.    Memonitor tanda-tanda vital, saturasi oksigen, dan EKG
4.     Memeriksa ada tidaknya kelainan lain yang dialami pasien seperti kelainan kardiopulmoner dan memastikan kalau pasien memang sedang mengalami serangan panik.
5.    Memberikan penjelasan dan motivasi pada pasien kalau semua keluhan yang dialaminya dapat berkurang jika dia menenangkan diri.

Komponen utama dari terapi pasien serangan panik adalah menjelaskan pada pasien kalau kondisi yang dialaminya bukanlah disebabkan oleh kondisi medis yang serius dan bukan pula dikarenakan oleh gangguan mental yang parah, tapi lebih diakibatkan oleh ketidakseimbangan kimiawi dalam tubuh karena respon sistem simpatik atau fight or flight response. Memberi keyakinan seperti ini terbukti menjadi plasebo yang signifikan dalam memperbaiki kondisi pasien.

Dokter dan staf IRD harus mendengarkan keluhan pasien secara efektif namun tetap menunjukkan empati terhadap kondisi pasien. Kita harus hati-hati dalam menggunakan frasa seperti “Penyakit Anda tidak serius” atau “Anda akan baik-baik saja” karena itu dapat di-misinterpretasi oleh pasien sebagai ketiadaan empati.

6.    Memberikan injeks lorazepam 0.5 mg IV q20min untuk menenangkan dan mengurangi impuls tak terkontrol pasien.1

Bila keadaan pasien membaik, lorazepam injeksi dapat diganti dengan lorazepam oral atau golongan benzodiazepin lain. Terapi ini tidak boleh lebih dari 1 minggu untuk mencegah ketergantungan. Benzodiazepin digunakan hanya untuk meningkatkan kepercayaan diri pasien. Setelah serangan panik berlalu, pasien harus dijelaskan mengenai pentingnya terapi jangka panjang seperti CBT dan penggunaan obat jenis SSRI.1

Penatalaksanaan Gangguan Panik Ketika Tidak Ada Serangan 

Mengingat gangguan panik merupakan suatu penyakit yang bersifat kronik, sering berulang, serta dapat menyertai berbagai gangguan mental dan somatik lain, maka penatalaksanaan yang tepat serta hemat biaya sangat dibutuhkan oleh pasien untuk mengurangi beban ekonomi yang bisa ikut menjadi pemicu gangguan mental yang lain lagi pada pasien.1,2,3,5

RANZCP (Royal Australian and New Zealand College of Psychiatrist) menyatakan bahwa penatalaksanaan yang direkomendasikan untuk menangani gangguan panik adalah mengedukasi pasien dan keluarga agar dapat mendukung pasien dalam mengatasi kepanikannya. Terapi medikasi hanya dianjurkan untuk penggunaan jangka pendek.2

Saat ini CBT (Cognitive-behaviour therapy) merupakan terapi yang dianggap lebih efektif dan murah dalam mengatasi gangguan panik jika dibandingkan dengan terapi medikasi. Untuk terapi medikasi, obat-obatan golongan tricyclic dan serotonin selective reuptake inhibitors (SSRI) dianggap memiliki efikasi yang setara serta lebih dipilih sebagai medikasi pilihan dibanding golongan benzodiazepin yang sering disalahgunakan serta dapat menyebabkan berbagai komplikasi pada pasien yang mengalami ketergantungan alkohol.2,3

1.    Cognitive-behavioral therapy (CBT) 
CBT, dengan atau tanpa farmakoterapi, merupakan terapi pilihan untuk gangguan panik, dan terapi ini harus diberikan pada semua pasien. CBT memiliki efikasi yang lebih tinggi dalam mengatasi gangguan panik dan biayanya lebih murah. Selain itu tingkat drop out dan relaps juga lebih rendah jika dibandingkan dengan terapi farmakologi. Meskipun begitu, hasil yang lebih superior dapat dihasilkan dari kombinasi CBT dan famakoterapi.1,2,3,4,5

Beberapa Metode CBT 
Terdapat beberapa metode CBT, beberapa diantaranya yakni metode restrukturisasi, terapi relaksasi, terapi bernapas, dan terapi interocepative.Inti dari terapi CBT adalah membantu pasien dalam memahami cara kerja pemikiran otomatis dan keyakinan yang salah dapat menimbulkan respon emosional yang berlebihan, seperti pada gangguan panik.

Terapi restrukturisasi,melalui terapi ini pasien dapat merestrukturisasi isi pikirannya dengan cara mengganti semua pikiran – pikiran negatif yang dapat mengakibatkan perasaan tidak menyenangkan yang dapat memicu serangan panik dengan pemikiran-pemikiran positif.1,3,5
Terapi relaksasi dan bernapas dapat digunakan untuk membantu pasien mengontrol kadar kecemasan dan mencegah hypocania ketika serangan panik terjadi. Semua jenis CBT seperti di atas dapat dilakukan pasien dengan atau tanpa melibatkan dokter.1,3,5

Namun salah satu metode CBT seperti interoceptive therapy yang terbukti berhasil pada 87% pasien harus dilakukan dengan bantuan dokter di suatu lingkungan yang terkontrol. Karena terapi ini dilakukan dengan memberikan paparan yang dapat menstimulus serangan panik pasien dengan cara meningkatkannya sedikit demi sedikit hingga pasien mengalami desensitasi terhadap stimulus tersebut. Adapun beberapa teknik yang dapat dilakukan untuk mendesensitasi gangguan panik antara lain:
•    Hiperventilasi disengaja – ini dapat mengakibatkan kepala pusing, derealisasi, dan pandangan menjadi kabur
•    Melakukan putaran pada kursi ergonomis – ini dapat mengakibatkan rasa pusing dan disorientasi
•    Bernapas melalui pipet – ini dapat mengakibatkan sesak napas dan konstriksi saluran napas
•    Menahan napas -  ini dapat menciptakan sensasi seperti pengalaman menjelang ajal
•    Menegangkan badan – untuk menciptakan perasaan tegang dan waspada

Semua tindakan di atas dilakukan tidak boleh lebih dari 1 menit. Kuncinya dari teknik di atas adalah menciptakan sejumlah stimulus yang menyerupai serangan panik. Latihan-latihan tersebut diulangi 3-5 kali sehari hingga pasien tidak lagi merasakan kepanikan terhadap stimulus seperti itu. Biasanya butuh waktu hingga beberapa minggu untuk dapat mencapai hal itu.1

Pemaparan terhadap stimulus tersebut dilakukan agar pasien dapat belajar melalui pengalaman bahwa semua sensasi internal yang dia rasakan seperti sesak napas, pusing dan pandangan yang kabur bukanlah hal yang harus ditakuti. Ketika pasien mulai menyadari hal tersebut maka secara otomatis, hippocampus dan amygdala, yang merupakan pusat emosi, akan ikut mempelajarinya sebagai hal yang tidak perlu ditakuti, sehingga respon sistem simpatik akan ikut berkurang.1

2.    Terapi Medikasi

Terdapat 3 golongan besar obat yang dianjurkan untuk mengatasi gangguan panik, yakni golongan SSRI, trisiklik, dan MAOI (Monoamine oxidase inhibitor). Sedangkan golongan benzodiazepin hingga saat ini masih dianggap kontoversial dalam terapi gangguan panik.1,2,3,4,5

2.a.    Golongan SSRI (Serotonin-selective reuptake inhibitors)

Penggunaan SSRI dan follow up keberhasilannya  sebaiknya dimulai dalam rentang 2 minggu sejak serangan panik terjadi karena SSRI dapat memicu serangan panik pada pemberian awal. Oleh karena itu dosis SSRI dimulai dari yang terkecil lalu ditingkatkan secara perlahan di setiap kesempatan follow up berikutnya.

Mekanisme Kerja SSRI 
SSRI dipercaya dapat meningkatkan kadar serotonin di ekstraselular dengan cara menghambat pengambilan kembali  serotonin ke dalam sel presinaptik sehingga ada lebih banyak serotonin di celah sinaptik yang dapat berikatan dengan reseptor sel post-sinaptik. SSRI memiliki tingkat selektivitas yang cukup baik terhadap transporter monoamin yang lain, seperti pada transporter noradrenaline dan dopamine, SSRI memiliki afinitas yang lemah terhadap kedua reseptor tersebut sehingga efek sampingnya lebih sedikit.

SSRI merupakan obat psikotropik pertama yang dianggap memiliki desain obat rasional, karena cara kerjanya benar-benar spesifik pada suatu target biologi tertentu dan memberikan efek berdasarkan target tersebut. Oleh karena itu SSRI digunakan secara luas di hampir semua negara sebagai lini pertama pengobatan antipanik.1,3

SSRI dapat diberikan selama 2-4 minggu, dan dosisnya dapat ditingkatkan secara bertahap tergantung pada kebutuhan. Semua jenis SSRI yang dikenal saat ini memiliki efektifitas yang baik dalam menangani gangguan panik. Salah satunya, Fluoxetine dalam salut memiliki masa paruh waktu yang panjang sehingga cocok digunakan untuk pasien yang kurang patuh minum obat. Selain itu waktu paruh yang panjang dapat meminimalisir efek withdrawl yang dapat terjadi ketika pasien lelah atau tiba-tiba menghentikan penggunaan SSRI.1,3

Contoh Obat Golongan SSRI
Fluoxetine (Prozac)
Fluoxetine secara selektif menghambat reuptake seotonin presinaptik, dengan efek minimal atau tanpa efek sama sekali terhadap reuptake norepinephrine atau dopamine.

Paroxetine (Paxil, Paxil CR)
Ini merupakan SSRI alternatif yang bersifat sedasi karena cara kerjanya berupakan inhibitor selektif yang poten terhadap serotonin neuronal dan memiliki efek yang lemah terhadap reuptake norepinephrine dan dopamine.

Sertraline (Zoloft)
Cara kerjanya mirip fluoxetine namun memiliki efek inhibisi yang lemah pada reuptake norephinephrine dan dopamine neuronal.

Fluvoxamine (Luvox, Luvox CR)
Fluoxamine merupakan inhibitor selektif yang juga poten pada reuptake serotonin neuronal serta secara signifikan tidak berikatan pada alfa-adrenergik, histamine atau reseptor kolinergik sehingga efek sampingnya lebih sedikit dibanding obat-obatan jeis trisiklik.

Citalopram (Celexa)
Citalopram meningkatkan aktivitas serotonin melalui inhibisi selektif reuptake serotonin pada membran neuronal. Efek samping antikolinergik obat ini lebih sedikit.

Escitalopram (Lexapro)
Escitalopram merupakan enantiomer citalopram. Mekanisme kerjanya mirip dengan citalopram.

Efek Samping SSRI
Efek samping SSRI biasanya timbul selama 1-4 minggu pertama ketika tubuh mulai mencoba beradaptasi dengan obat (kecuali efek samping seksual yang timbul pada fase akhir pengobatan). Biasanya penggunaan SSRI mencapai 6-8 minggu ketika obat mulai mendekat potensi terapi yang menyeluruh. Adapun beberapa efek samping SSRI antara lain: anhedonia, insomnia, nyeri kepala, tinitus, apati, retensi urin, perubahan pada perilaku seksual, penurunan berat badan, mual, muntah dan yang ditakutkan adalah efek sampinng keinginan bunuh diri dan meningkatkan perasaan depresi pada awal pengobatan.1,3

2.b.    Golongan Tricyclic/Trisiklik
Golongan trisiklik zat kimia heterosiklik yang awalnya digunakan untuk mengatasi depersi. Pada awal penemuannya, golongan trisiklik merupakan pilihan pertama untuk terapi depresi. Meskipun masih dianggap memiliki efektifitas yang tinggi, namun saat ini penggunaannya mulai digantikan oleh golongan SSRI dan antidepresan lain yang terbaru.1,2

Golongan trisiklik beberapa memiliki kelebihan di antaranya, dosisnya cukup 1x/hari, rendah resiko ketergantungan, dan tidak perlu ada pantangan makanan.  TCAs have the advantages of once-daily dosing, low risk of dependence, and no dietary restrictions.  Namun 35% penggunanya langsung menghentikan pengobatan karena efek samping yang tidak menyenangkan. Golongan trisiklik harus dimulai dengan dosis kecil untuk menghindari amphetamine like stimulation. Biasanya pengobatan dengan menggunakan trisiklik membtuhkan waktu  sekitar 8-12 minggu untuk mencapai respon terapi.

Trisiklik masih tetap digunakan dalam terapi terutama untuk depresi atau panik yang resisten terhadap obat antipanik terbaru. Selain itu golongan trisiklik tidak menyebabkan ketergantungan sehingga dapat digunakan dalam jangka waktu yang lama. Hanya saja kelemahan golongan ini adalah, efek sampingnya biasanya mendahului efek terapi sehingga banyak pasien yang justru segera menghentikan pengobatan meskipun efek terapinya belum tercapai.1,3

Mekanisme Kerja Trisiklik
Mekanisme kerja kebanyakan trisiklik menyerupai cara kerja SNRI (serotonin-norepinephrine reuptake inhibitor) dengan cara memblok transporter serotonin dan norepinephrine, sehingga terjadi peningkatan neurotransmiter ekstraseluler yang dapat bereaksi dalam proses neurotransmisi. TCA sama sekali tidak bereaksi terhadap transporter dopamin sehingga efek samping akibat peningkatan dopamin seperti halusinasi dapat berkurang.1,3

Selain bereaksi pada reseptor norepinephrine dan serotonin, trisiklik juga bereaksi sebagai antagonis pada neurotransmiter 5-HT2 (5-HT2A and 5-HT2C), 5-HT6, 5-HT7, α1-adrenergic, and NMDA receptors, dan sebagai agonists pada sigma receptors (σ1 and σ2), yang memberikan kontribusi pada efek terapi dan efek sampingnya. Trisiklik juga dikenal sebagai antihistamin dan antikolinergik kuat karena dapat bereaksi dengan reseptor histamine dan asetilkolin muskarinik.
Kebanyak trisiklik juga dapat menghambat kanal natrium dan kalsium, sehingga dapat bekerja seperti obat-obatan natrium channel blocker dan calcium channel blocker. Karena itu penggunanaan berlebih trisiklik dapat menyebabkan kardiotoksik.1,3

Contoh Obat Trisiklik
Imipramine (Tofranil, Tofranil-PM)
Imipramine menghambat reuptake norepinephrine dan srotonin pada neuron presinaptikin.

Desipramine (Norpramin)
Desipramine dapat meningkatkan konsentrasi norepinephrine pada celah sinaptik SSP dengan ara menghambat reuptakenya di membran presinaptik. Hal ini dapat menyebabkan efek desensitasi pada adenyl cyclase, menurunkan regulasi reseptor beta-adrenergik, dan regulasi reseptor serotonin.

Clomipramine (Anafranil)
Obat ini berefek langsung pada uptake serotonin sedangakan pada efeknya uptake norepinephrine terjadi ketika obat ini diubah menjadi metabolitnya, desmethylclomipramine.

Efek Samping Trisiklik
Ada banyak efek samping yang dapat disebabkan oleh trisiklik yang berkaitan dengan antimuskarinik-nya. Beberapa di antaranya adalah mulut kering, hidung kering, pandangan kabur, konstipasi, retensi urin, gangguan memori dan peningkatan temperatur tubuh.

Efek samping lainnya adalah pusing, cemas, anhedonia, bingung, sulit tidur, akathisia, hipersensitivitas, hipotensi, aritmia serta kadang-kadang rhabdomiolisis.1,3

2.c.    MAO Inhibitor
Monoamine oxidase inhibitors (MAOIs) merupakan salah satu jenis antidepresi yang dapat digunakan untuk mengatasi gangguan panik. Pada masa lalu golongan ini digunakan untuk mengatasi gangguan panik dan depresi yang sudah resisten terhadap golongan trisiklik.

MAO paling efektif digunakan pada gangguan panik yang disertai agoraphobia. Selain itu MAO juga dapat digunakan untuk mengatasi migraine dan penyakit parkinson karena target dari obat ini adalah MAO-B yang berperan dalam timbulnya nyeri kepala dan gejala parkinson.1,3

Kelebihan MAO adalah tingkat ketergantungan terhadap obat ini rendah dan efek antikolinergiknya lebih sedikit dibanding obat golongan trisiklik.

Cara Kerja MAOI
MAOI bekerja dengan cara menghambat aktivitas monoamine oxidase, sehingga ini dapat mencegah pemecahan monoamine neurotransmitters dan meningkatkan avaibilitasnya. Terdapat 2 jenis  monoamine oxidase, MAO-A dan MAO-B. MAO-A berkaitan dengan deaminasi serotonin, melatonin, epinephrine and norepinephrine. Sedangkan MAO-B mendeaminasi phenylethylamine and trace amines. Dopamine dideaminasi oleh keduanya.

Contoh Obat MAOI

Phenelzine (Nardil)
Nardil merupakan obat golongan MAOI yang paling sering digunakan dalam mengatasi gangguan panik. Hal ini telah dibuktikan merlalui superioritas yang jelas terhadap placebo dalam percobaan double-blind untuk mengatas gangguan panik. Obat ini biasanya digunakan untuk pasien yang tidak respon terhadap obat golongan trisiklik atau obat antidepresi golongan kedua.

Tranylcypromine (Parnate)
Obat ini juga efektif terhadap gangguan panik karena berikatan secara ireversibel pada MAO sehingga dapat mengurangi pemecahan monoamin dan meningkatkan avaibilitas sinaptik.

Efek Samping MAOI
Ketika dikonsumsi peroral, MAOI menghambat katabolisme amine. Sehingga ketika makanan yang mengandung tiramin dikonsumsi, seseorang dapat menderita krisis hipertensi. Jika makanan yang mengandung tiptofan dimakan juga, maka hal ini dapat menyebabkan hiperserotonemia. Jumlah makanan yang dibutuhkan hingga menimbulkan reaksi berbeda-beda pada tiap individu.

Mekanisme pasti mengapa konsumsi tiramin dapat menyebabkan krisis hipertensi pada pengguna obat MAOI belum diketahui, tapi diperkirakan tiramin menggantikan norepinefrin pada penyimpanannya di vesikel, dalam hal ini norepinefrin terdepak oleh tiramin. Hal ini dapat memicu aliran pengeluaran norepinefrin sehingga dapat menyebabkan krisis hipertensi. Teori lain menyatakan bahwa proliferasi dan akumulasi katekolamin yang menyebabkan krisis hipertensi.

Beberapa makanan yang mengandung tiramin antara lain hati, makanan yang difermentasi dan zat-zat lain yang mengandung levodopa seperti kacang-kacangan. Makanan-makanan itu harus dihindarkan dari pengguna MAOI.1,3


2.d.    Golongan Benzodiazepin
Golongan benzodiazepin merupakan salah satu obat piliahnyang digunakan untuk mengatasi serangan panik akut.

Cara Kerja Benzodiazepin
Benzodiazepin bekerja dengan cara meningkatkan efek neurotransmiter GABA (gamma-butyric acid), yang berakibat pada inhibisi fungsi eksitasi sehingga dapat menimbulkan  kantuk, menekan kecemasan, anti-kejang, melemaskan otot dan dapat mengakibatkan amnesia.

Ada 3 jenis benzodiazepin yakni yang short acting, intermediate acting dan long acting. Benzodiazepin short- dan intermediate acting digunakan untuk mengatasi insomnia sedangkan yang golongan long-acting digunakan untuk mengatasi gangguan panik.1,3

Contoh Obat Benzodiazepin

Lorazepam (Ativan)
Lorazepam merupakan suatu hipnotik-sedatif yang memiliki efek onset singkat dan paruh waktunya tergolong intermediate. Dengan meningkatkan aksi GABA, yang merupakan inhibitor utama di otak, lorazepam dapat menekan semua kerja SSP, termasuk sistem limbik dan formasi retikuler.

Clonazepam (Klonopin)
Clonazepam menfasilitasi inhibisi GABA dan transmiter inhibitorik lainnya. Selain itu, obat ini memiliki waktu paru yang relatif panjang sekitar 36 jam.

Alprazolam (Xanax, Xanax XR)
Alprazolam merupakan terapi pilihan untuk manajemen serangan panik. Obat ini dapat terikat pada reseptor-reseptor pada beberapa bagian otak, termauk sistem limbik dan RES. Meskipun begitu banyak ahli yang tidak menyarankan penggunaan alprazolam dalam waktu lama karena tingkat ketergantungannya sangat tinggi.

Dosis Alprazolam

Dewasa: 0.25-0.5 mg 3x/hr, dapat ditingkatkan dengan interval 3-4 hr s/d maks 4 mg/hr dalam dosis terbagi. Lansia, pasien lemah fisik dan disfungsi hati berat: 0.25 mg 2-3x/hr

Interaksi Alprazolam

Efek ditingkatkan oleh depresan SS, alkohol, barbiturat. Eksresi dihambat ole simetidin

Kemasan Alprazolam

Tablet 0.5 mg x 10 x10

Diazepam (Valium, Diastat, Diazepam Intensol)
Diazepam meruapakan salah satu jenis benzodiazepin yang potensinya rendah. Namun dapat digunakan untuk mengatasi serangan panik.

Efek Samping Benzodiazepin
Efek samping yang paling sering ditemukan pada benzodiazepin biasanya berkaitan dengan efek sedasi dan relaksan ototnya. Beberapa di antaranya adalah mengantuk, pusing, dan penurunan konsentrasi dan kewaspadaan. Kurangnya koordinasi bisa mengakibatkan jatuh dan kecelakaan, terutama pada orang tua. Akibat lain dari benzodiazepin adalah penurunan kemampuan menyetir sehingga dapat berakibat pada tingginya angka kecelakaan.

Efek samping lainnya adalah hipotensi dan penekanan pusat pernapasan terutama pada penggunaan intravena. Beberapa efek samping lain yang dapat timbul pada penggunaan benzodiazepin adalah mual, muntah, perubahan selera makan, pandangan kabur, bingung, euforia, depersonalisasi dan mimpi buruk. Beberapa kasus juga menunjukkan bahwa benzodiazepin bersifat liver toksik.1,3

2.e.    Serotonin Reuptake Inhibitor/Antagonist
Mekanisme kerja obat ini belum terlalu dipahami. Namun diketahui obat ini dapat mengatasi gangguan panik dengan cara kerja yang berbeda dari MAOI, serta tidak seperti obat jenis amphetamine, obat ini tidak menstimulasi CNS.1

Contoh Obat
Trazodone
Trazodone sangat berguna dalam terapi gangguan panik yang disertai agorafobia. Pada hewan, obat ini secara selektif mampu menghambat uptake serotonin melalui sinaptosom otak dan mepotensiasi perubahan perilaku melalui induksi prekursor serotonin, 5-hidroksitriptofan.1

2.f.    Serotonin Norepinephrine Reuptake Inhibitors
Ini merupakan salah golongan antipanik terbaru. Cara kerja obat ini adalah mencegah reuptake inhibitor serotonin-norepinefrin sehingga dapat mengatasi kepanikan.

Contoh Obat
Venlafaxine (Effexor, Effexor XR)
 Venlafaxine merupakan salah satu contoh obat inhibitor reuptake serotonin/norepinephrine selain itu cara kerja obat ini adalah menurunkan regulasi reseptor beta.1

3.    Interaksi Obat

Adapun beberapa interaksi obat yang harus diperhatikan pada penggunaan terapi medikasi gangguan panik antara lain:6
•    Obat anti-panik trisiklik (Imipramine/Clomipramine) + Haloperidol(Phenothiazine) = mengurangi kecepatan ekskresi dari trisiklik sehingga kadar dalam  plasma meningkat, sebagai akibatnya dapat terjadi potensiasi efek samping antikolinergik seperti ileus paralitik, disuria, gangguan absorbsi dan lain-lain.
•    Obat trisiklik/SSRI + CNS Depressant (alkohol, opioid, benzodiazepine, dll) menyebabkan potensiasi efek sedasi dan penelanan terhadap pusat pernapasan bahkan dapat  terjadi gagal napas.
•    Obat trisklik/SSRI + Obat simpatomimetik (derivat amfetamin) = dapat membahayakan kondisi jantung.
•    Obat trisiklik/SSRI + MAOI tidak boleh diberikan bersamaan karena dapat terjadi Serotonin Malignant Syndrome. Perubahan penggunaan trisiklik/SSRI menjadi MAOI atau  sebaliknya harus menunggu waktu sekitar 2-4 minggu untuk wash out period.
•    Obat trisiklik + SSRI, dapat meningkatkan toksisitas obat trisiklik.

4.    Pemilihan Obat dan Pengaturan Dosis

    Semua jenis obat anti-panik hampir sama efektifnya dalam menanggulangi sindrom panik pada taraf sedang dan pada stadium awal dari gangguan panik.
•    Bila pasien peka terhadap efek samping obat, maka golongan obat yang dianjurkan adalah SSRI atau RIMA yang lebih sedikit efek sampingnya.
•    Alprazolam  menjadi pilihan untuk menangani pasien yang terkena serangan panik akut.
•    Obat anti-panik harus dimulai dengan dosis kecil lalu ditingkatkan secara perlahan hingga tercapai dosis maintenance. Dan harus diingatkan pada pasien bahwa efek obat anti-panik bekerja dalam jangka waktu 2-4 minggu sehingga meyakinkan pasien agar tetap patuh minum obat sangatlah penting.
•    Lamanya pemberian obat anti-panik bisa mencapai 6-12 bulan dan bila sudah tidak terdapat lagi gejala, dosisnya dapat diturunkan selama 3 bulan hingga pasien tidak tergantung lagi pada obat. Namun apabila terdapt lagi serangan, pasien harus memulai lagi pengobatan dari awal.6

5.    Pemilihan Obat dan Pengaturan Dosis
•    Semua pasien yang baru saja memakan obat anti-panik tidak dianjurkan membawa kendaraan atau menjalankan mesin karena pasien dapat tertidur saat melakukan aktivitas.
•    Semua ibu hamil tidak dianjurkan memakan obat anti-panik.
•    Pada manula dan yang menderita gangguan hati serta ginjal, maka dosis obat anti-panik harus diberikan seminimal mungkin.6


VI.    KESIMPULAN

Gangguan panik merupakan suatu gangguan kejiwaan yang membutuhkan penanganan jangka panjang. Adapun penatalaksanaan yang dianggap efektif untuk menanganinya adalah terapi CBT, terapi medikasi SSRI dan trisiklik sebagai terapi lini pertama dan golongan benzodiazepin potensi tinggi, MAOI dan obat anti-panik jenis lain menjadi terapi lini kedua. CBT saja mungkin efektif digunakan untuk terapi jangka panjang, namun efikasi terapi dapat bertambah serta tingkat relaps dapat berkurang jika CBT dikombniasikan dengan terapi medikasi.



DAFTAR PUSTAKA
1.    Memon MA. Panic disorder. Updated on March 2011. [Cited on June 2011]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/287913-overview
2.     Cloos JM. Treatment of panic disorder. Updated on January 2005. [Cited on June 2011]. Available from: http://www.medscape.com/viewarticle/497207_1
3.    Saddock BJ & Saddock VA. Panic disorder and agoraphobia. In: Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Ed. USA: Lippincott Williams & Wilkins; 2007. Sec.16.2
4.    Greist JH &Jefferson JW. Anxiety disorder. In: Review of General Psychiatry. 5th Ed. Baltimore: Vishal. 2000. Cp.21.
5.    McLean PD & Woody SR. Panic diorder and agoraphobia. In: Anxiety Disorders in Adults. Vancouver: Oxford University Press; 2001. Cp.5
6.    Maslim R Obat anti-panik. Dalam: Penggunaan Klinis Obat Psikotropika. Edisi Ketiga. Jakarta: PT Nuh Jaya; 2007. Hal.52-56

Reblog from : http://skydrugz.blogspot.com/2011/07/penatalaksanaan-gangguan-panik.html